Oke, kalau di episode lalu saya sudah bahas 10 tantangan
menulis non-fiksi, sekarang giliran fiksi. Kebetulan sedang belajar keduanya.
Sekilas mengingat, tulisan fiksi dibuat berdasarkan khayalan, imajinasi, tidak benar-benar
terjadi sebagian atau seluruhnya. Contoh tulisan fiksi ada novel, cerpen,
puisi, memoar, naskah drama, dan
lain-lain.
Memang sih, ada karya fiksi yang berdasarkan kisah nyata,
tapi kenapa tetap disebut fiksi? Karena, biasanya hanya garis besar atau
alurnya yang nyata, bisa juga beberapa adegan di dalamnya. Namun, detail
penceritaan tetap dikarang dan dibumbui dengan deskripsi, kata-kata yang
menambah suasana.
Saya pernah menemukan ada penulis non-fiksi yang heran
kenapa orang bisa menulis fiksi.
Menurutnya, berkhayal itu cukup sulit. Nah,
bersyukurlah bagi kita yang punya kemampuan berimajinasi. Supaya tidak terbuang
sia-sia, coba manfaatkan lewat tulisan. But,
kenali dulu delapan tantangan menulis fiksi yang pernah saya alami.
Mengasah Jiwa Khayal
Menurut saya, ini modal utama seorang penulis fiksi. Jika
melihat sebuah adegan di hadapannya ia akan membayangkan adegan itu berkembang
ke mana-mana. Jika bertemu sebuah benda menarik, ia akan berkhayal benda itu
hidup atau ada tokoh yang berinteraksi dengan benda itu dan berkaitan dengan
konflik hidupnya.
Daya khayal ini perlu terus diasah apalagi bagi yang ingin
bisa menulis fiksi jenis fantasi. Memang sih ada jenis fiksi realita seperti
layaknya kehidupan sehari-hari, tapi, kamu tetap perlu daya khayal untuk
mengarang jalan hidup seperti apa yang terjadi pada tokoh dan apa saja yang ia
rasakan.
Sekalipun Fiksi,
Tetap Perlu Referensi
Refensi bisa jadi sumber ide yang dapat kita kembangkan dan
diaplikasikan ke mana-mana. Misalnya, anggur yang dapat meledak di microwave bisa jadi satu ide adegan
novel action. Sebuah sejarah perang
bisa jadi latar percintaan dua insan. Bahkan, kamu bisa menciptakan tokoh dari
sejenis kuman.
Nah untuk mengembangkan semua itu kamu perlu referensi
tambahan. Ada zat apa di dalam anggur? Bagaimana kronologi sejarah, dimana,
mengapa, dan siapa tokoh besar yang terlibat? Seperti apa bentuk kuman itu,
dimana ia hidup, bagaimana ia hidup, berkembang biak, dan bagaimana pola
hidupnya?
Fiksi Juga Perlu
Riset Lho
Hati-hati karena karya fiksi kita bisa dicap tak masuk akal
oleh pembaca, meskipun itu memang karya fiksi. Menurut saya, di situ lah seni
fiksi berada, bagaimana sebuah khayalan tampak seperti nyata, dan dipercaya ada
oleh pembaca.
Riset ini tidak hanya untuk fisik tapi juga non-fisik
misalnya sebab-akibat alur kehidupan tokoh. Soal fisik misalnya, apa sih ciri
khas wajah orang India di bagian wilayah tertentu? Orang bermata hijau itu
biasanya berasal dari mana? Di Skotlandia banyak ditemukan orang berambut
merah.
Kalau non-fisik misalnya, cara tokoh menyelesaikan masalah
sesuai dengan karakternya. Kemampuan tokoh sesuai dengan masa waktu ia
diceritakan. Masih banyak lagi keperluan riset lainnya.
Menjiwai Karakter
yang Kita Ciptakan
Bagaimana bisa mendeskripsikan apa yang dirasakan tokoh jika
kita tidak tahu bagaimana rasanya menjadi tokoh itu? Saat tokoh menangis maka
penulis menangis. Saat tokoh gembira maka penulis gembira.
Yah, menurut saya, dalam proses membuat karyanya, penulis
perlu berganti-ganti peran. Ini semua agar apa yang dituliskan benar-benar
berasal dari tokoh itu, dan bisa mewakili kepribadiannya.
Bersungguh-Sungguh
Merasakan Suasana yang Kita Bangun
Demi menghayati suasana seorang penulis datang ke tempat
perkara secara langsung dan berkhayal, membayangkan apa pun yang akan terjadi
di sana. Ia merasakan bagaimana udaranya, debunya, sinarnya, suramnya, padatnya,
dan sebagainya. Ada spirit yang berbeda menulis sesuatu yang pernah ditemui
secara langsung.
Sebagai totalitas, penulis sering kali berekesperimen. Misalnya,
bagaimana menjalin hubungan dengan orang tipe A, bagaimana gugupnya berkenalan
dengan orang asing, sampai bagaimana rasanya berjalan di kuburan di tengah
malam.
Memeriksa Lagi, Lagi,
dan Lagi
Naskah karya fiksi perlu dibaca lagi, lagi, dan lagi.
Dievaluasi lagi, lagi, dan lagi. Semua itu dilakukan agar apa yang kita
inginkan tersampaikan. Tidak hanya itu tapi juga mengevaluasi apakah struktur
dan cara penyampaiannya sudah cukup menarik dan membawa pembaca larut ke dalam
imajinasi mereka.
Mengasah Jiwa Sastra
Ada pepatah yang mengatakan jika kita ingin menuangkan teh
makan tekonya harus berisi tak, tidak mungkin kopi kan…. Jika ingin tulisan
berkualitas perlu diasah dengan membaca tulisan-tulisan berkualitas.
Berkualitas di sini tidak hanya karya yang menang
penghargaan sih. Tidak hanya dari segi gaya bahasa atau kalimat-kalimat nyastra. Bisa juga belajar ide-ide yang
muncul dari berbagai penulis baik yang sudah terkenal maupun yang masih indie.
Entah itu ide alur, ide karakter, dan sebagainya.
Bermain Simbol
Ini ada hubungannya dengan mengasah jiwa sastra. Sebagian
pembaca bosan dengan cerita yang dituturkan secara gamblang, jelas, ya gampang
dimengerti. Ada yang ingin menikmati indahnya kata-kata simbol. Berbagai pesan
atau kritik juga lebih mengena jika disampaikan dengan simbol.
Tantangannya ialah bagaimana membuat simbolitas menciptakan
proses berpikir, tapi bisa dimengerti bahkan lebih mengena dibandingkan dengan
penyampaian gamblangnya. Saya sendiri masih belum berhasil sih dalam tahap ini
hehehe, tapi memang itu salah satu tantangannya.
*Hati-hati, tulisan ini hanya fiktif belaka,
jika sama dengan yang kamu alami maka itu kebetulan saja. Yah, artikel ini harus dibaca dan diedit lagi.