Sudah sejak sekolah dasar, kita diajari bahwa manusia adalah makhluk sosial, membutuhkan satu sama lain. Agama juga mengajari kita membantu orang yang perlu pertolongan. Namun, bagaimana jika kita gerah terhadap orang yang terus minta bantuan pada kita?
Toleransi orang berbeda-beda. Yah, kemurahan hati orang juga berbeda-beda. Persepsi orang juga beda-beda. Ada yang memandang segala sesuatu dari untung rugi. Ada juga yang memandangnya dari kemampuan diri diri. Sejauh mana kita bisa membantu orang tersebut. Sejauh mana orang tersebut berhak minta bantuan pada kita.
Sering kita bertanya pada diri sendiri, salah kah sikap yang kita ambil? Salah kah saat kita membantu orang tersebut terus menerus? Apakah membuat jadi bergantung pada kita? Atau, lama-lama kita yang akan terbebani jika orang tersbeut tak kunjung mengerti.
Namun, sebagaian dari kita masih ingin memahami posisi orang yang terus minta bantuan pada kita. Misalnya, bantuan finansial, pekerjaan, atau tumpangan.
Mungkin Saat Ini Kita Sedang di Garis Aman, Belum Diberi Cobaan Hidup yang Berarti
Kalau kata orang tua, setiap orang pasti menemui ujian amat berat dalam hidupnya. Misalnya, terkena musibah yang memusnahkan hartanya, ditinggal keluarganya, menderita penyakit yang membuatnya tak berdaya, memiliki keturunan yang tidak sebaik harapannya, dan sebagainya.
Bahwasanya, kehidupan setiap orang tidak lah sempurna. Di sinilah saatnya orang perlu bantuan dan yang lain punya wadah berbagi.
Saat ini kita gerah saat ada orang yang terus minta bantuan pada kita. Namun, ingatlah, mungkin karena kita belum pernah mendapat cobaan seperti yang didapat orang tersebut. Mungkin nanti ada saatnya dan yang bisa membantu kita adalah kebaikan yang pernah kita tabur.
Aksi Sama dengan Reaksi
Apakah kita percaya bahwa balasan Tuhan tidak selalu bisa diduga? Balasan Tuhan mungkin tidak sama persis dengan apa yang kita berikan tapi sesuai dengan apa yang kita perlukan.
Jika mengacu pada hukum fisika, aksi sama dengan reaksi. Kita pun adalah bagian dari materi di dunia ini. Kita akan menuai benih apa yang kita tanam. Hukum fisika tersebut mengajarkan, jika kita ingin orang bersikap baik maka kita pun harus bersikap baik.
Mengenang Kebaikan Orang Tersebut
Barangkali, ada sisi-sisi baik dari orang tersebut yang belum kita sadari. Sebuah hal kecil yang cukup berarti bagi kita. Sebuah hal kecil yang coba dilakukan orang tersebut untuk membalas kebaikan kita di saat ia belum bisa melakukan hal besar.
Misalnya, ada seorang tetangga yang sering menitipkan anaknya pada kita. Ketika rumah kita berantakan ia bantu membereskannya. Ketika kita sakit ia selalu siap membantu kita membelikan obat, mengantar ke dokter, atau bahkan merawat kita. Ketika kita menggelar acara orang tersebut siap berkontribusi.
Atau, sesuatu yang secara kasat mata tidak terlihat. Misalnya, dia membalas kebaikan kita dengan nasehat pada orang-orang terdekat kita agar menjaga dan berbuat baik pada kita.
Mengenang Kebaikan Keluarganya
Mungkin orang tersebut tidak berhubungan langsung dengan kita. Namun, ia adalah anak dari orang yang sangat berjasa dalam hidup kita.
Berbuat baik padanya sama dengan membalas kebaikan keluarganya. Dengan begitu, kita bisa lebih ringan tangan kepada orang tersebut.
Kebaikan Kita Akan Diingat Oleh Keluarganya
Rantai kebaikan terus berlanjut. Barangkali, anak-anak atau cucunya akan ingat kebaikan yang kita berikan kepada orang tua mereka. Suatu saat, ketika kita perlu bantuan, mereka bisa saja membalas kebaikan kita pada orang tuanya di masa lalu.
Namun, terlalu berharap pada hal ini rasanya kurang baik juga. Jangan sampai nantinya kita kecewa karena kebaikan yang dulu pernah kita lakukan tak kunjung dibalas saat kita membutuhkan.
Yakinlah balasan Tuhan pasti ada dan bentuknya tak disangka-sangka. Bisa saja kebaikan tersebut akan dituai oleh anak cucu kita nanti dengan alur yang tidak kita ketahui.
Memberi Sesuatu yang Sederhana Tapi Cukup Berarti
Barangkali, yang kita bisa beri dengan ikhlas bukanlah materi tapi hal lain. Misalnya, sebentuk pengertian. Menyediakan ruang dan waktu.
Contoh kasus, seorang keponakan yang ditinggal kedua orang tuanya, harus dirawat oleh orang tua kita di rumah. Meski kita tidak bisa memberinya sejumlah uang, kita bisa memberinya ruang untuk “pemakluman”.
Maklum terhadap sikapnya yang rewel dan cerewet. Membiarkan kamar kesayangan kita jadi tempatnya bermain. Atau, menemaninya jalan-jalan ke taman. Atau, hanya hal kecil seperti senyum, tertawa, dan mengajak bercanda.
Mengingat Manfaatnya untuk Kesehatan Mental Kita
Ada sebuah istilah “lapar ego”, dimana kita haus akan eksistensi. Membuat kita dengan mudah memaki orang lain. Membuat kita tidak mengakui pencapaian orang lain. Kelaparan ego membuat kita sulit menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Ego yang lapar membuat kita menyakiti orang lain.
Belajar berbagi adalah salah satu cara mengendalikan ego kita. Meski awalnya berat, kita bisa mulai dari hal-hal kecil. Dengan berbagi, kita akan merasa sensasi lega dan ikut bahagia saat hidup orang lain terselamatkan karena kebaikan kita. Hal inilah yang bisa melembutkan diri kita dan membuat kita bisa menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang lain.
Seandainya Kita Ada di Posisi Mereka
Bagaimana seandanya kita ada di posisi mereka? Bagaimana jika kita tak punya keluarga yang peduli? Bagaimana jika kita mendapat penyakit yang membuat kita tak berdaya? Bagaimana rasanya depresi ditinggal pasangan?
Bagaimana rasanya tak punya pengetahuan dan pendidikan untuk mencari kerja? Bagaimana rasanya tak mengerti informasi bagaimana membangun usaha saat ini? Bagaimana rasanya tidak bisa berjalan dengan benar?
Bagaimana rasanya dianggap membebani orang lain? Bagaimana rasanya tidak ditolak oleh orang lain? Bagaimana rasanya berusaha sabar terhadap sikap orang lain ketika kita meminta bantuan? Barangkali, untuk memahaminya, kita perlu melakukan suatu percobaan.
Bagaimana Rasanya Bergantung pada Orang Lain?
Sering kita hanya memandang sesuatu dari sudut pandang kita saja. Coba sesekali bayangkan, bagaimana rasanya saat kita harus minta bantuan yang cukup besar dari orang lain? Pinjam uang yang lumayan banyak, misalnya.
Bagaimana rasanya saat kita harus meminjam barang orang lain? Bagaimana rasanya saat kita harus memohon atau bersikap baik saat ingin minta tolong pada orang lain?
Kiranya, hal itu tidak mudah. Ada rasa tidak enak yang harus dilawan saat meminta bantuan pada orang lain. Ada kondisi serba salah yang harus dirasakan saat terlalu sering minta bantuan pada orang lain. Ada rasa sakit saat balasan yang kita pikir sudah sesuai dianggap tidak sesuai atau malah tidak dipandang oleh orang tersebut.
Hummm well, apa yang saya tulis di sini menjadi pembelajaran bagi diri saya sendiri. Mudah-mudahan ada yang bisa dipetik untuk orang lain. Atau, kalau pemikiran saya salah, kita bisa diskusi.
***
Image Credit thefrisky.com