|
Sumber gambar: https://static1.squarespace.com/ |
Well, banyak orang
yang punya penyakit tidak bisa mengatur waktu, termasuk penulis, apalagi
penulis pemula. Seorang mentor saya pernah bilang, usahakan memenuhi target
menulis setiap hari karena bakal kelabakan kalau sudah menumpuk. Yap, begitu
lah adanya yang saya alami. Ada banyak kesalahan penulis saat harus menulis
panjang di waktu yang sempit.
Topik Kurang Menarik
Barangkali ini faktor jam terbang juga ya. Kalau sedang
kepepet saya pilih topik yang mudah dan bahannya banyak, atau sekalian jangan
yang perlu banyak riset.
But, saya kok
merasa topiknya kurang menarik tapi mau bagaimana lagi, yang penting kejar
target. Mungkin perlu belajar lagi untuk mengemas sebuah topik ya. Meski
topiknya itu-itu saja tapi cara menyampaikannya berbeda.
Kalau melihat media-media besar, seperti Kompas, dan
National Geographic misalnya (ya mereka sih satu grup), mereka juga sering membahas
topik sederhana. Topiknya sebenarnya sudah banyak diulas dan sudah pernah
mereka bahas, hanya saja diperbarui lagi.
Kata-Kata Terlalu Cair
Demi memenuhi syarat jumlah, kata-kata jadi boros. Ketika
dibaca kalimatnya jadi bertele-tele. Faktor kekurangan bahan atau kepepet tidak
bisa cari yang lebih banyak lagi.
Saat berposisi sebagai pembaca, sebenarnya saya gerah dengan
kalimat dilebarkan. Bukannya semangat, malah jadi malas membaca artikel
tersebut sampai habis.
Atau, jatuhnya hanya baca sekilas menangkap inti yang
disampaikan. But, memang ini sih
tujuan utamanya, bagaimana artikel itu di-klik lalu dibaca sekilas.
Isinya Jadi Dangkal
Banyak artikel yang ditulis dengan kata-kata ‘rada’ maksa. Misalnya,
tentang makanan yang menyebabkan keguguran. Satu sub-tema membahas nanas dengan
cara begini:
Meski nikmat di lidah,
nanas berbahaya bagi ibu hamil. Sejak dulu, nanas dikenal berbahaya untuk
janin. Ini karena nanas bisa menyebabkan kontraksi rahim sehingga memicu
keguguran.
Lalu, paragraf itu berpindah ke sub-tema selanjutnya. Zzzzz
banget bukan? Apa yang pembaca harapkan? Barangkali, kenapa nanas itu
menyebabkan keguguran. Ada zat berbahaya yang dikandungnya? Bolehkah dikonsumsi
dalam jumlah terbatas?
Well, karena terburu-buru
dan pikiran sudah sumpek, terlalu ribet mencari informasi dan data tambahan. Alhasil,
memutar-mutar kata. But, tergantung
targetnya juga kali ya. Pembaca lebih sering melihat sub-sub topik dibanding penjelasannya.
Banyak Salah Ketik
Karena waktu sudah mepet, boro-boro membaca lagi artikelnya.
Penulis yang banyak menulis sering merasa baik-baik saja dengan hasil
ketikannya. Namun, kadang ternyata ada juga salah-salah sedikit.
Kalau maknanya masih bisa dimengerti sih ya masih bisa dimaafkan
lah ya. Cuma, kalau salah ketik dan maknanya jadi “nyeleneh” gimana hehehehe….
Hal-hal seperti ini juga sering saya temukan bahkan pada media besar sekelas
Kompas dan Tempo.
Tidak Membaca Ulang
Tulisannya
Target penulis yang sedang terburu-buru adalah menuliskan
banyak kata dan kalau bisa, memperkaya informasi. Cuma, belum tentu punya waktu
membaca ulang tulisannya.
Atau, pikiran sudah terlalu ribet jadi meskipun dibaca, sulit
mendeteksi kesalahan dari kalimat-kalimatnya, selain typo. Apa sih yang diharapkan pembaca? Mereka lebih senang kalau
kalimat itu mudah dan nyaman dibaca.
Fungsi membaca ulang konsep tulisan itu ya di sini kan. Merasakan
kembali apakah tulisan kita sudah cukup mudah dipahami. Apakah tulisan kita
sudah cukup padat sehingga nyaman dibaca.
Apakah tulisan kita sudah cukup
mengalir. But, sekali lagi but, kesalahan penulis artikel adalah
terlanjur malas melakukan ini.
Penjelasan Kurang
Kongkrit
Hampir sama dengan kata-kata yang dangkal tadi, penjelasan
artikel jadi kurang kongkrit. Maksudnya, penulis kadang memaksakan dekskripsinya
dan berpikir pembaca akan paham saja dengan itu.
Sementara, bisa saja penjelasan itu jadi lebih mudah dipahami
dengan contoh konkrit. Misal, kita menulis, “tunjukkan bahwa kamu memang benar-benar tertarik dengan ceritanya”.
But, apa sih
tandanya orang tertarik dengan pembicaraan orang lain? Bagaimana pandangan mata
yang harus ditunjukkan? Bagaimana seharusnya sikap tangan, kaki, dan bahu?
Bukankah kita ingin mengajarkan orang yang tidak mengerti
bagaimana cara yang baik menghadapi orang lain? Bukankah kita ingin mengajarkan
orang yang tidak peka? Bukankah kita menulis untuk membuat orang lain lebih
baik?
Gaya Menulis yang
Itu-Itu Saja
Karena sudah tidak ada waktu, kita menulis seadanya. Boro-boro
memikirkan pemainan sudut pandang atau permainan genre. Misalnya, pengantar
semi-semi sastrawi. Misalnya, artikel yang dibuka dengan kutipan tokoh terkenal.
Misalnya, penutupan yang dipoles dengan pantun.
Originalitas
Berkurang
Menyampaikan informasi dari sebuah sumber dengan bahasa
sendiri memang agak ribet. Beda lagi kali ya dengan orang yang sudah terlatih.
Ketika terburu-buru kita cenderung menulis lagi (dalam
artian sebenarnya) hampir seluruh kata-kata dari sebuah kalimat yang ditulis
orang lain. Kadang, kita ‘mengakalinya’ dengan menuliskan sumber. Jatuhnya kan
memang jadi kutipan langsung atau tidak langsung.
Hasilnya, originalitas jadi berkurang. Isi tulisan kita
dipenuhi dengan kalimat-kalimat orang lain yang kita comot dari berbagai
sumber. Sebenarnya ini cukup membantu sih untuk pembaca yang ingin praktis mendapat
banyak informasi dari satu sumber. But,
apakah kita perlu bicara idealisme keaslian karya?
Gaya Bahasa yang Seperti
Penulis Barat
Mungkin ini soal lain, cuma, menurut saya, kurang cocok sih
buat pembaca Indonesia. Ya memang kan sistem grammar kita beda. Sementara, tulisan Orang Barat kalau diterjemahkan
setengah matang jadi agak ribet. Agak boros dalam konteks bahasa Indonesia.
Biasanya ini bawaan penulis yang banyak mengambil bahan dari
artikel internasional. Misal, jatuhnya jadi begini: “Bunga kenanga, perlu segenggam penuh untuk membuat wanginya lebih terasa.”
Contoh lain: “Acara ini digelar untuk
menghimpun anak muda dari seluruh dunia yang dengan berbagai latar belakang mereka
bisa berkontribusi untuk membahas sebuah ide kreatif tentang bagaimana menyelesaikan
isu-isu perdamaian dunia.”
Bahasa-bahasa seperti ini sih kalau dibaca dengan bahasa
Inggrisnya memang lebih mudah dimengerti. But,
kalau sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia malah bikin pusing.
Menerjemahkan Mentah-Mentah
Well, asli, saya pernah
menemukan artikel dengan terjemahan yang ‘ngaco’ di media besar. Ngaco maksudnya, terjemahannya masih
mentah. Seperti mengkopi begitu saja dari Google
Translate versi jadul. Sukur-sukur masih bisa dipahami meski kalimatnya
berputar-putar. Yaaa kalau jatuhnya bikin tambah mumet gimana….
Entah apa yang dipikirkan penulis (alias peng-kopi)-nya saat
itu. Mungkin dia sedang kejar target saja. Atau, mungkin memang tujuan
tulisannya hanya kejar klik saja.
Kata-Kata Monoton
Pernah kah kita merasakan narasi di acara TV yang terlalu
banyak kata “tersebut”? Nah, seperti itu juga tulisan kita. Artikel saya ini kebanyakan
kata “mungkin” kali ya….
Saat menulis kita merasa enjoy
saja dan terus mengetik. But,
seandainya kita bisa membaca lagi pasti terasa kata apa saja yang terlalu
banyak muncul. Kata-kata ini seharusnya diganti dengan sinonimnya.
*Sebenarnya saya belum baca ulang tulisan ini, tapi kita kan memang sedang membahas kesalahan penulis saat harus menulis panjang di waktu yang
sempit hehehehe.